Miripnya Kasus Kopi Sianida Mirna dan Kasus Ferdy Sambo: Perspektif Hakim Binsar Gultom

Hakim Binsar Gultom menekankan pentingnya fokus pada surat dakwaan dan karakteristik racun sianida dalam kasus Kopi Sianida Mirna dan Ferdy Sambo.

Miripnya Kasus Kopi Sianida Mirna dan Kasus Ferdy Sambo: Perspektif Hakim Binsar Gultom
Hakim Binsar Gultom

Cydem.co.id' JakartaKasus kontroversial kematian Wayan Mirna Salihin dalam kasus Kopi Sianida di tahun 2016, kembali mencuri perhatian publik setelah dirilisnya sebuah film dokumenter berjudul 'Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso' beberapa hari yang lalu. Dalam film tersebut, beberapa tokoh kunci yang terlibat dalam kasus tersebut diwawancarai, termasuk pengacara Jessica Wongso, Otto Hasibuan, ayah korban Edi Darmawan Salihin, dokter forensik dr. Djaja Surya Atmadja, dan hakim kasus, Dr. Binsar Gultom.

Menariknya, dalam sebuah wawancara di acara Rosi SiIlalahi pada Senin, 9 Oktober 2023, Hakim Binsar Gultom membahas kesamaan antara kasus Kopi Sianida Mirna Salihin dan kasus terbaru, yaitu kematian mantan Irjen Pol Ferdy Sambo di tahun 2022. Meskipun kasus keduanya terjadi pada rentang waktu yang cukup jauh, Gultom menyatakan bahwa ada persamaan yang mencolok dalam kedua kasus tersebut.

Menurut Binsar Gultom, persamaan utama terletak pada jumlah bukti yang harus dihilangkan oleh hakim. "Dalam konteks ini, terdapat beberapa kesamaan dengan berbagai perdebatan terkait kematian korban. Salah satu aspeknya bukanlah soal jenis racun atau cara penggunaannya, sehingga terdapat perdebatan yang muncul," ungkap Gultom. Dia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa hakim harus fokus pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa agar dapat menghindari timbulnya perdebatan lebih lanjut.

Pentingnya menyoroti surat dakwaan ini juga tercermin dalam kasus Ferdy Sambo, yang melibatkan kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, yaitu Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dalam penanganan kasus ini, Binsar Gultom mengungkapkan bahwa ia memeriksa tiga aspek utama: korban, penyebab kematian korban, bukti fisik, dan saksi-saksi yang ada. "Apakah ada korban? Yes, ya. Kedua, mengapa dia meninggal? Lalu, apa yang menyebabkan ia meninggal?" tanya Gultom.

Namun, Binsar Gultom juga menekankan bahwa pihak penyidikan tidak seharusnya terburu-buru dalam menentukan pelaku di balik kematian korban. "Jadi kita bukan mencari dulu siapa yang melakukan," lanjutnya. Selain itu, karakteristik racun sianida yang digunakan dalam kasus tersebut juga menjadi titik penting yang harus dipahami dengan cermat oleh pihak berwenang. "Dari berbagai alat bukti keterangan saksi yang masuk, ternyata ada beberapa hal yang tidak bersesuaian dengan matinya seseorang itu. Kalau memang itu sianida, kami pelajari karakteristik sianida itu," tambahnya.

Penjelasan Binsar Gultom memberikan sudut pandang yang menarik mengenai penanganan kasus kriminal yang melibatkan racun mematikan seperti sianida. Meskipun berbeda tahun kejadiannya, kedua kasus tersebut memberikan pembelajaran penting bagi sistem peradilan Indonesia dan membangkitkan kesadaran akan kompleksitas investigasi dalam kasus-kasus serupa di masa depan. Publik pun menanti perkembangan lebih lanjut dalam penanganan kedua kasus ini.