Kontroversi Putusan MK Mengubah Dinamika Pilpres 2024: KPU Revisi Aturan Capres-Cawapres

Revisi aturan KPU mengikuti putusan MK, menciptakan tantangan hukum dan kebingungan terkait interpretasi jabatan kepala daerah

Kontroversi Putusan MK Mengubah Dinamika Pilpres 2024: KPU Revisi Aturan Capres-Cawapres
Ilustrasi. KPU resmi mengubah PKPU tentang pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden, mengikuti putusan MK perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Cydem.co.id' Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan dalam politik Indonesia dengan mengubah persyaratan batas usia minimal bagi calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Putusan kontroversial ini memicu perubahan signifikan dalam dinamika pemilihan presiden tahun 2024.

MK memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Keputusan ini direspons cepat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang pada tanggal 3 November 2023, mengumumkan revisi pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 tahun 2023.

Revisi ini ditandatangani oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, dan mengikuti keputusan MK dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Perubahan tersebut, khususnya frasa "yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," menimbulkan kontroversi dan kebingungan, karena tidak spesifik mengenai jabatan kepala daerah mana yang dimaksud.

Ketentuan baru ini membuka peluang bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, untuk maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024. Gibran telah mendaftarkan diri sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi politik nasional tahun depan.

Namun, keputusan MK ini tidak datang tanpa kontroversi. Kesembilan hakim konstitusi yang menyusun putusan ini dilaporkan oleh sejumlah pihak ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik. Anwar Usman, Ketua MK saat itu, menjadi terlapor dalam 15 dari 21 laporan yang diterima oleh MKMK. MKMK berencana membacakan putusan atas laporan-laporan ini dalam waktu dekat.

Putusan MK juga dihadapi gugatan hukum oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana. Gugatan ini, yang memiliki nomor perkara 141/PUU-XXI/2023, menyoroti frasa ambigu dalam putusan MK yang berpotensi menimbulkan masalah hukum bagi calon yang berusia di bawah 40 tahun.

Perubahan aturan ini mengguncang panggung politik Indonesia, memunculkan pertanyaan tentang integritas hukum dan etika para pembuat kebijakan. Sementara Gibran Rakabuming Raka bersiap memasuki arena politik nasional, pertarungan hukum dan opini publik terus memanas dalam menghadapi Pilpres 2024.