Gibran Rakabuming Raka Memenuhi Syarat, Daftar Sebagai Calon Wakil Presiden

Kontroversi putusan MK mempengaruhi integritas hukum dan etika, menciptakan perselisihan dalam persiapan Pilpres 2024

Gibran Rakabuming Raka Memenuhi Syarat, Daftar Sebagai Calon Wakil Presiden
Ilustrasi. KPU resmi mengubah PKPU tentang pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden, mengikuti putusan MK perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Cydem.co.id' Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia secara resmi mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur persyaratan pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden. Perubahan ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Revisi PKPU tersebut ditandatangani oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, pada tanggal 3 November 2023.

Dalam putusan MK yang berjudul perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK menambahkan ketentuan baru terkait batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Menurut putusan tersebut, calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

Ketentuan ini kemudian diintegrasikan ke dalam PKPU Nomor 23 tahun 2023 Pasal 13 Ayat 1 huruf q. Pasal ini menyatakan, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah."

Sebelum revisi, PKPU Nomor 19 tahun 2013 hanya mencantumkan, "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" tanpa mencantumkan persyaratan pengalaman kepala daerah.

Keputusan MK ini mencuatkan kontroversi terkait calon presiden dan wakil presiden yang memenuhi syarat. Putusan MK membuka peluang bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi, untuk maju di Pilpres 2024 meskipun belum mencapai usia 40 tahun. Gibran telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi politik nasional tahun depan.

Dampak dari putusan MK ini adalah munculnya kontroversi dan laporan dugaan pelanggaran etik terhadap sembilan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Sejumlah pihak melaporkan kesembilan hakim MK tersebut ke MKMK atas dugaan pelanggaran kode etik terkait putusan syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Dalam total 21 laporan yang diterima oleh MKMK, Anwar Usman menjadi hakim yang paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 15 laporan. MKMK kemudian akan membacakan putusan terkait laporan-laporan tersebut.

Selain laporan dari masyarakat dan pihak terkait, putusan MK juga digugat oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana. Gugatan tersebut telah terdaftar dengan perkara nomor 141/PUU-XXI/2023. Brahma didampingi oleh kuasa hukumnya, yakni Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah.

Brahma Aryana berpendapat bahwa frasa penambahan ketentuan dalam putusan MK berpotensi menimbulkan persoalan hukum bagi calon yang berusia di bawah 40 tahun. Hal ini disebabkan karena frasa tersebut tidak secara spesifik menyebutkan jabatan kepala daerah pada tingkat apa yang dimaksud dalam putusan MK. Apakah jabatan tersebut merujuk pada tingkat gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota tidak dijelaskan dengan rinci dalam putusan MK.

Dengan adanya gugatan mahasiswa dan laporan pelanggaran etik terhadap hakim konstitusi, putusan MK mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden menjadi perdebatan hangat dalam dunia politik Indonesia. Pemerintah, calon-calon presiden, dan warga Indonesia secara luas mengikuti perkembangan ini dengan cermat, mengingat dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh putusan ini dalam pemilihan presiden yang akan datang.