KPU Tegas Jalankan Putusan MK: Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden Diubah

Putusan MK mengubah dinamika politik dengan memperbolehkan calon di bawah 40 tahun, menyebabkan kontroversi dan gugatan hukum

KPU Tegas Jalankan Putusan MK: Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden Diubah
Ilustrasi. KPU resmi mengubah PKPU tentang pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden, mengikuti putusan MK perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Cydem.co.id' Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia telah secara resmi mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden. Perubahan tersebut datang sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah persyaratan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden.

Pada tanggal 3 November 2023, Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, menandatangani revisi PKPU tersebut. Perubahan ini didasarkan pada putusan MK perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menambahkan ketentuan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

Sebelum revisi, PKPU Nomor 19 tahun 2013 hanya menyebutkan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun tanpa menyebutkan pengalaman sebagai kepala daerah.

Putusan MK ini telah menimbulkan kontroversi terutama terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo dan putra sulung Presiden Jokowi, yang kini berusia di bawah 40 tahun. Gibran telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024.

Namun, keputusan MK ini tidak hanya menimbulkan kontroversi politik, tetapi juga dampak etika terhadap sembilan hakim konstitusi. Para hakim ini dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik terkait putusan ini.

MKMK menerima 21 laporan terkait pelanggaran kode etik sembilan hakim MK, terutama terhadap Anwar Usman, yang menjadi terlapor dalam 15 laporan. Putusan atas laporan-laporan tersebut dijadwalkan akan dibacakan pada hari ini.

Pada sisi lain, putusan MK ini juga menghadapi tantangan hukum. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana, menggugat putusan MK dengan registrasi perkara nomor 141/PUU-XXI/2023. Menurut Brahma, formulasi dalam putusan MK berpotensi menimbulkan masalah hukum terkait definisi jabatan kepala daerah yang tidak spesifik.

Dengan perubahan ini, panorama politik Indonesia memasuki periode yang penuh ketegangan, baik di tingkat pemilihan presiden maupun dalam ranah hukum dan etika. MK dan KPU, sebagai dua institusi kunci dalam proses demokrasi, kini harus menghadapi tekanan dan tantangan yang kompleks seiring dengan mendekati pemilihan presiden 2024. Semua mata tertuju pada bagaimana keputusan-keputusan ini akan membentuk masa depan politik Indonesia yang demokratis dan etis.