Pemerintah Indonesia Akan Menggugat Lembaga Anti-Korupsi Inggris Terkait Kasus Suap Airbus

Indonesia berencana menuntut lembaga anti-korupsi Inggris untuk meminta bagian dari penyelesaian kasus dugaan suap Airbus di lima negara

Pemerintah Indonesia Akan Menggugat Lembaga Anti-Korupsi Inggris Terkait Kasus Suap Airbus
Indonesia berencana menuntut lembaga anti-korupsi Inggris untuk meminta bagian dari penyelesaian kasus dugaan suap Airbus

Cydem.co.id' Jakarta Pemerintah Indonesia berencana untuk mengambil tindakan hukum terhadap lembaga anti-korupsi Inggris dalam upaya untuk mendapatkan sebagian dari penyelesaian kasus suap yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan besar, Airbus, kepada pemerintah Inggris. Airbus telah setuju untuk membayar sejumlah besar uang sebagai bagian dari penyelesaian kasus senilai US$4 miliar dengan Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat pada tahun 2020. Penyelesaian ini muncul setelah penyelidikan kriminal selama 3,5 tahun atas tuduhan suap dan korupsi yang melibatkan dugaan praktik korupsi di lima negara, termasuk Indonesia.

Menteri Hukum dan HAM Indonesia, Yasonna Laoly, telah mengonfirmasi rencana tersebut, yang akan menggugat Serious Fraud Office (SFO) Inggris, lembaga yang telah menyelidiki tuduhan suap yang melibatkan Airbus.

Kasus suap yang melibatkan Airbus adalah salah satu skandal terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Selain Indonesia, perusahaan ini juga terlibat dalam praktik serupa di negara-negara seperti Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan.

Airbus telah mengakui tindakannya dan telah diwajibkan membayar denda sebesar 991 juta euro (sekitar Rp16,24 triliun) kepada SFO Inggris melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA). DPA adalah perjanjian penangguhan penuntutan yang umum digunakan dalam kasus pidana di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo R Muzhar, juga telah menyuarakan permintaan agar Airbus membayar kompensasi kepada negara-negara korban. Dia mengatakan bahwa tindakan korupsi sangat merugikan proses pengadaan barang dan jasa, serta berdampak negatif pada keputusan yang diambil oleh negara.

Selain itu, Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) juga mengharuskan negara-negara pihak untuk memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk suap. UNCAC adalah instrumen antikorupsi internasional yang mengikat secara hukum.

Dalam kasus penyelesaian melalui DPA, sejumlah negara korban telah menyuarakan kekhawatiran mereka terkait kompensasi yang mereka terima. Airbus mengakui kelalaian dalam mencegah suap dan menggunakan jaringan agen rahasia untuk membayar uang sogokan kepada pejabat asing untuk mendapatkan kontrak bernilai tinggi.

Kasus ini juga melibatkan beberapa petinggi maskapai penerbangan, termasuk mantan direktur maskapai nasional SriLankan Airlines Kapila Chandrasena, serta dua bos AirAsia, Tony Fernandes dan Kamarudin Meranun.

Airbus dituduh telah menyuap direktur dan karyawan maskapai SriLankan Airlines sebesar US$16,84 juta melalui perusahaan yang dimiliki oleh istri mantan CEO SriLankan, Priyanka Niyomali Wijenayaka, di Brunei. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia meminta hak kompensasi dari Airbus sebagai korban dalam kasus suap terhadap pejabat asing yang harus dipenuhi.

Kasus skandal suap ini juga telah berdampak merugikan Indonesia dan maskapai nasionalnya, Garuda, dengan mempengaruhi keputusan pengadaan pesawat yang tidak tepat.