Kerugian Akibat Pinjaman Online Ilegal Mencapai Rp 120 T, Ini 4 Tantangan Besarnya

Kerugian Akibat Pinjaman Online Ilegal Mencapai Rp 120 T, Ini 4 Tantangan Besarnya
Ilustrasi Pinjol Ilegal

CYDEM.CO.ID, Jakarta, - Pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh investasi ilegal dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang angkanya terus meroket. Selain memastikan keadilan ekonomi, pengembalian dana kepada masyarakat yang menjadi korban dari dua bentuk aktivitas ilegal ini menjadi prioritas penting. Hal ini esensial guna memulihkan kepercayaan publik terhadap sektor keuangan dan memastikan kelangsungan pertumbuhan ekonomi.

Budi Santoso, Direktur Pelatihan Association Of Certified Fraud Examiner (ACFE) Indonesia Chapter, menyatakan bahwa upaya memulihkan aset masyarakat yang menjadi korban investasi ilegal dan pinjol ilegal akan memberikan pesan kuat bahwa pemerintah sungguh-sungguh dalam melindungi hak dan kepentingan warganya. Selain itu, hal ini juga akan memperkuat integritas pasar keuangan Indonesia.

"Jumlah kerugian yang signifikan akibat investasi ilegal dan pinjol ilegal menandakan bahwa sistem keuangan kita mengalami masalah serius. Peningkatan digitalisasi yang cepat, tingkat literasi keuangan yang rendah, dan regulasi yang kurang kuat telah menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan investasi ilegal dan pinjol ilegal di Indonesia. Situasi ini telah mencapai taraf darurat, dan diperlukan pendekatan yang ekstra untuk menangani masalah ini," ungkap Budi di Jakarta, Selasa (29/8).

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa selama tahun 2022, nilai kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat investasi ilegal dan pinjol ilegal mencapai sekitar Rp 120,79 triliun. Jumlah ini melonjak tajam dari kerugian pada tahun 2021 yang hanya sekitar Rp 2,54 triliun.

Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa Indonesia, seperti banyak negara lainnya, menghadapi tantangan dalam hal skema investasi ilegal atau penipuan. Faktor-faktor seperti budaya dan ekonomi memperbesar isu ini. Dari segi budaya, struktur komunitas yang tradisional dan erat kadang-kadang mendorong individu untuk mempercayai rekomendasi dari teman atau keluarga tanpa melakukan verifikasi yang memadai. Faktor ini turut memfasilitasi penyebaran skema penipuan.

"Dari perspektif ekonomi, banyak orang tertarik pada peluang investasi yang terlalu menggiurkan atau tidak masuk akal, tanpa mempertimbangkan risikonya secara memadai. Meskipun sebagian besar sadar bahwa imbal hasil investasi yang ditawarkan tidak realistis, dorongan untuk meraih keuntungan besar dengan cepat sering mengalahkan pertimbangan risiko. Inilah mengapa banyak individu yang memiliki pemahaman tentang keuangan juga menjadi korban investasi ilegal," papar Budi, yang juga merupakan Dosen Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo.

Menurut Budi, terdapat tiga jenis investasi ilegal yang paling umum terjadi di Indonesia. Pertama, skema ponzi, yang menawarkan imbal hasil tinggi dan bergantung pada dana dari investor baru untuk membayar investor yang lebih awal. Skema ini akan runtuh ketika arus dana baru berkurang. Kedua, perusahaan investasi tanpa lisensi, yang beroperasi tanpa izin resmi dan sering terlibat dalam kegiatan berisiko tinggi atau penipuan. Ketiga, penipuan online, yang semakin marak dengan pertumbuhan platform digital. Penipuan jenis ini dapat berbentuk situs web investasi palsu, penipuan phishing, atau platform kripto palsu.

Budi mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah dan lembaga keuangan untuk memulihkan kerugian masyarakat akibat investasi ilegal. Pertama, Pemulihan Aset dan Likuidasi, dengan mendirikan unit atau tim khusus yang bertujuan memulihkan aset dari skema penipuan dan menjual aset fisik yang dimiliki oleh perusahaan investasi ilegal. Hasil penjualan kemudian didistribusikan kepada para korban.

Kedua, memperkuat tindakan hukum, dengan meningkatkan kerangka hukum untuk membawa pelaku skema penipuan ke pengadilan. Selain itu, perintah restitusi perlu diimplementasikan, di mana pengadilan memerintahkan individu atau entitas yang terbukti bersalah untuk mengganti kerugian para korban.

Ketiga, pemerintah bisa membentuk dana kompensasi yang didukung oleh pemerintah, mirip dengan asuransi, untuk membantu para korban penipuan investasi. Meskipun mungkin tidak mengganti semua kerugian, dana ini dapat memberikan bantuan segera, terutama bagi mereka yang kehilangan jumlah uang yang signifikan.

Langkah keempat adalah kerjasama internasional. Jika pelaku penipuan atau asetnya berada di luar negeri, bekerja sama dengan badan internasional atau pemerintah asing untuk

 memulihkan aset. Bergabung dengan perjanjian internasional yang menangani kejahatan finansial lintas batas juga dapat memudahkan dalam ekstradisi dan penuntutan pelaku.

"Namun yang lebih krusial adalah peningkatan pengawasan dari OJK. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas OJK dalam mengawasi dan mengatur aktivitas investasi, termasuk menetapkan pedoman yang jelas untuk skema investasi yang legal dan memberlakukan sanksi ketat terhadap mereka yang melanggar pedoman tersebut," tutup Budi Santoso.