Review Film: Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso
Film ini memadukan dokumenter, thriller dan kegemaran banyak orang: drama, sensasi, dan misteri
Jakarta' Cydem.co.id - "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso" tidak hanya sekadar dokumenter, tetapi sebuah pengalaman mendalam yang memadukan drama dan misteri dalam kasus pembunuhan terkenal Wayan Mirna Salihin. Dengan sentuhan sinematografi yang memikat dan narasi yang penuh kejutan, film ini telah menarik perhatian banyak penonton, termasuk saya, sejak pertama kali dirilis di Netflix. Meskipun saya belum selesai menyaksikan keseluruhan film berdurasi 86 menit ini, rasanya tidak sulit mencatatkannya sebagai salah satu tontonan favorit sepanjang tahun ini."
Apa yang membuat "Ice Cold" begitu menarik adalah pendekatannya yang unik terhadap kasus pembunuhan Mirna Salihin. Meskipun ada elemen dramatisasi yang terasa seperti dalam sinetron, namun naskahnya dibuat dengan sangat hati-hati. Keputusan untuk mempertahankan nada yang lebih dekat dengan selera masyarakat Indonesia, menghadirkan drama, sensasi, dan misteri yang sangat menghibur. Saya terkesan dengan bagaimana dokumenter ini berhasil memancing rasa penasaran saya dengan narasi yang mengundang tanya, terutama dalam babak-babak sajian yang mengajak penonton untuk lebih dekat dengan kasus ini."
Dalam dunia yang penuh dengan tontonan dokumenter serius, 'Ice Cold' tampil berbeda. Meskipun membahas kasus pembunuhan yang tragis, film ini tidak memilih jalur penyajian yang kering atau sangat teknis. Sebaliknya, dokumenter ini membawa kita ke dalam cerita dengan lebih mendalam, menggiring penonton untuk merasakan drama alih-alih hanya menyaksikannya. Bagian dramatisasi dalam film ini jelas menarik, mengingatkan pada kisah-kisah penuh teka-teki ala Sherlock Holmes, dan mendorong penonton untuk terus memperhatikan setiap detail yang diungkapkan.
Salah satu hal yang patut diapresiasi dari 'Ice Cold' adalah sinematografinya yang mengagumkan. Tim sinematografi yang terdiri dari sejumlah profesional dari berbagai negara tidak hanya menciptakan visual yang indah tetapi juga memperkuat emosi yang terasa dalam setiap adegan. Setiap sudut, setiap pencahayaan, semuanya dikerjakan dengan sangat teliti, memberikan kesan visual yang menggugah dan memikat penonton dari awal hingga akhir.
Meskipun demikian, dokumenter ini tidak sempurna. Ada kekurangan yang bisa mengganggu beberapa penonton, terutama mereka yang mengharapkan pemahaman yang lebih dalam tentang kasus ini. Penjelasan tentang hubungan antara Mirna dan Jessica, serta kemungkinan masalah lain yang mungkin dihadapi Mirna sebelum kematian tragisnya, tidak digali dengan cukup mendalam. Namun, pada akhirnya, keputusan untuk mempertahankan sentuhan dramatisasi dan memusatkan perhatian pada persepsi penonton adalah pilihan yang diambil oleh pembuat film.
Dengan berbagai drama, asumsi, dan penilaian subjektif yang tersaji, 'Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso' memenuhi ekspektasi saya sebagai penonton yang gemar berdiskusi tentang kasus-kasus kriminal yang menantang. Meskipun dokumenter ini memiliki sentuhan 'sinetron' yang terasa, namun hal ini justru menambahkan lapisan kemanusiaan pada kasus ini, membuatnya terasa lebih dekat dengan pemirsa. Bagi penggemar cerita misteri dan drama, film ini adalah sebuah perjalanan yang patut diikuti, memberikan kesempatan untuk membahas dan merenungkan lebih dalam tentang kasus-kasus kompleks di dunia nyata yang kadang-kadang lebih aneh daripada fiksi.