Jusuf Kalla Soroti Film 'Dirty Vote' yang Hanya Ungkap 25% Kecurangan Pilpres 2024: Apa yang Terlewat?
Dia menegaskan bahwa pemilihan yang tidak jujur hanya akan menghasilkan pemilih yang tidak sempurna
Cydem.co.id' Jakarta - Sebuah kritik muncul dari Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI, terhadap film dokumenter "Dirty Vote" yang baru-baru ini dirilis. Dalam pernyataannya, JK, sapaan akrabnya, menyebut bahwa film tersebut hanya mengungkap sekitar 25 persen dari dugaan kecurangan yang terjadi selama proses Pemilu dan Pilpres 2024.
Film tersebut, disutradarai oleh Dhandy Dwi Laksono, merupakan karya yang memperlihatkan sisi gelap dalam proses politik Indonesia. Namun demikian, menurut JK, film tersebut masih belum mencakup semua aspek kecurangan yang sesungguhnya terjadi.
"Saya kira film itu masih ringan dibandingkan dengan kenyataan yang ada dewasa ini, masih tidak semuanya. Mungkin baru 25 persen," ujar JK di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurut JK, film "Dirty Vote" belum sepenuhnya mengungkap semua dugaan kecurangan yang terjadi di tingkat lokal, seperti di daerah-daerah dan di desa-desa. Hal ini termasuk keterlibatan aparat dalam mempengaruhi masyarakat serta penyalahgunaan bantuan sosial yang menjadi isu sensitif.
"Masih banyak lagi sebenarnya, yang jauh lebih banyak. Mungkin suasananya lebih sopan, tapi masih banyak lagi, terutama jika semuanya dibuka," tambahnya.
Meskipun memberikan kritik terhadap cakupan film tersebut, JK tetap memberikan apresiasi atas upaya "Dirty Vote" dalam menyoroti pentingnya integritas dalam proses demokrasi. Menurutnya, film ini dapat memberikan pemahaman bahwa pemilihan yang tidak jujur hanya akan menghasilkan pemilih yang tidak sempurna.
"Saya tidak mengatakan kotor, katakanlah tidak sempurna. Kalau pemilihnya seperti itu. Itu aja intinya," tegasnya.
Film dokumenter "Dirty Vote" yang diproduksi oleh rumah produksi WatchDoc, menampilkan tiga ahli hukum tata negara: Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Mereka secara rinci menjelaskan bagaimana berbagai instrumen kekuasaan telah dimanfaatkan untuk memenangkan pemilu, bahkan jika hal itu melanggar atau merusak tatanan demokrasi.
Kritik JK terhadap film ini menimbulkan pertanyaan penting: apa lagi yang belum diungkap? Dan bagaimana cara mengatasi kecurangan dalam proses politik Indonesia untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil?