JK Menyebut Film "Dirty Vote" Hanya Ungkap 25% Kecurangan Pilpres 2024

JK menegaskan bahwa masih banyak kecurangan yang belum terungkap, terutama di tingkat lokal

JK Menyebut Film "Dirty Vote" Hanya Ungkap 25% Kecurangan Pilpres 2024
Jusuf Kalla menyebut film Dirty Vote masih terbilang 'ringan' dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi sebenarnya.

Cydem.co.id' Jakarta - Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, mengkritik film dokumenter "Dirty Vote" yang disutradarai oleh Dhandy Dwi Laksono, menyatakan bahwa film tersebut hanya mengungkap sekitar 25 persen dari dugaan kecurangan yang terjadi selama proses Pemilu dan Pilpres 2024.

JK, sapaan akrabnya, telah menonton film tersebut dan mengapresiasi fakta dan data yang disajikan. Namun, menurutnya, data yang ditampilkan masih belum mencakup semua dugaan kecurangan yang sebenarnya terjadi.

"Saya kira film itu masih ringan dibandingkan dengan kenyataan yang ada dewasa ini, masih tidak semuanya. Mungkin baru 25 persen," ujar JK di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin (12/2).

Dia menambahkan bahwa film "Dirty Vote" belum mengungkap semua dugaan kecurangan yang terjadi di daerah-daerah dan di desa-desa, termasuk keterlibatan aparat dalam mempengaruhi masyarakat dan penyalahgunaan bantuan sosial.

"Masih banyak lagi sebenarnya, yang jauh lebih banyak. Mungkin suasananya lebih sopan, tapi masih banyak lagi, terutama jika semuanya dibuka," katanya.

Meskipun demikian, JK memberikan pujian terhadap film tersebut dan menyatakan bahwa "Dirty Vote" dapat menunjukkan bahwa pemilihan yang tidak jujur hanya akan menghasilkan pemilih yang tidak sempurna.

"Saya tidak mengatakan kotor, katakanlah tidak sempurna. Kalau pemilihnya seperti itu. Itu aja intinya," tambahnya.

Film dokumenter "Dirty Vote" yang diproduksi oleh rumah produksi WatchDoc, menampilkan tiga ahli hukum tata negara: Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Mereka menjelaskan bagaimana berbagai instrumen kekuasaan telah dimanfaatkan untuk memenangkan pemilu, bahkan jika hal itu melanggar atau merusak tatanan demokrasi.