Krisis Papua Nugini Memuncak, Desakan Mundur untuk PM Marape Semakin Kencang

Frustrasi masyarakat meluas akibat krisis ekonomi dan ketidakmampuan pemangku kepentingan

Krisis Papua Nugini Memuncak, Desakan Mundur untuk PM Marape Semakin Kencang
PM Papua Nugini James Marape didesak mundur usai kerusuhan di negara itu.

Cydem.co.id' Jakarta - Papua Nugini, tetangga Indonesia, masih dalam keadaan darurat nasional menyusul kerusuhan massal di ibu kotanya, Port Moresby, yang terjadi dua pekan lalu. Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, kini dihadapkan pada tekanan besar dari sejumlah pejabat dan politikus di negara itu untuk mengundurkan diri.

Allan Bird, anggota parlemen sekaligus Gubernur Sepik Timur, menjadi salah satu yang mendesak agar Marape mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban. Bird menilai bahwa kepolisian tidak boleh dihukum sepenuhnya atas kerusuhan tersebut, menekankan perlunya pertanggungjawaban yang lebih luas.

"Dalam situasi ini, Anda tidak bisa menghindar. Kita semua harus bertanggung jawab atas kekacauan ini," ujar Bird, menambahkan bahwa kerusuhan tersebut menjadi noda terbesar dalam sejarah Papua Nugini, menimpa seluruh anggota parlemen dan penentu kebijakan.

Menurut Bird, masalah krisis tenaga kerja dan kenaikan harga kebutuhan pokok telah memperburuk frustrasi masyarakat, yang pada akhirnya melahirkan aksi kerusuhan yang menyebabkan 22 orang tewas, banyak kasus pemerkosaan, dan kerusakan pada pusat bisnis.

Gubernur Morobe, Luther Wenge, juga ikut menyuarakan desakan agar PM Marape mundur, menganggap langkah tersebut dapat mengembalikan kepercayaan terhadap pemerintah. Wenge, sambil memilih tetap berada di Partai Pangu, mendesak pergantian kepemimpinan di partai tersebut.

Krisis ini menyoroti ketidakmampuan pemangku kepentingan untuk menangani isu-isu krusial di Papua Nugini, meningkatkan tekanan terhadap kepemimpinan Marape, dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut.