Sistem Noken: Uniknya Cara Pemungutan Suara di Papua yang Dicerminkan dalam Tas Anyaman

Sistem noken dipakai dalam pemungutan suara di Papua

Sistem Noken: Uniknya Cara Pemungutan Suara di Papua yang Dicerminkan dalam Tas Anyaman
Sebagian warga adat di Papua memakai sistem noken saat menyalurkan hak suaranya di pemilu.

Cydem.co.id' Jakarta - Sistem noken, yang merupakan pola pemungutan suara di beberapa daerah di Pulau Papua, mengundang perhatian sebagai bentuk unik dari proses demokrasi. Di balik kata "noken" terdapat sebuah tradisi yang mengakar dalam budaya masyarakat Papua, sebuah tas anyaman yang terbuat dari serat kayu. Namun, lebih dari sekadar tas, noken memiliki peran penting dalam pelaksanaan pemilihan umum di daerah ini.

Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, di Papua, pemilihan umum tidak hanya melibatkan individu secara langsung tetapi juga melibatkan kepala adat atau suku. Sistem noken menjadi cara bagi masyarakat Papua untuk menyalurkan hak suara secara kolektif, seringkali melalui musyawarah dan kesepakatan bersama. Noken menjadi simbol kebersamaan dan penghargaan terhadap kepemimpinan tradisional.

Dalam penerapannya, ada dua jenis sistem noken yang umum, yaitu noken big man dan noken gantung. Pada sistem noken big man, penyaluran hak suara dipercayakan kepada ketua adat atau ketua kampung. Musyawarah antar warga dilakukan untuk menentukan pilihan bersama, dan kemudian ketua adat menjadi perwakilan dalam menyalurkan suara ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sementara itu, noken gantung digunakan sebagai pengganti kotak suara konvensional yang sulit didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu.

Ada beberapa alasan di balik penggunaan sistem noken ini. Pertama, faktor geografis Papua yang sulit dijangkau membuat distribusi logistik pemilu menjadi tugas yang sangat menantang. Jarak yang harus ditempuh melintasi medan terjal dan pedalaman membuat sistem konvensional menjadi tidak efektif. Kedua, faktor Sumber Daya Manusia (SDM) juga turut berperan. Sebagian masyarakat di pegunungan mungkin belum sepenuhnya memahami tujuan dan manfaat pemilu, sehingga dibutuhkan bimbingan dalam proses pengambilan keputusan.

Faktor ketiga adalah sosial budaya. Masyarakat di pedalaman Papua cenderung mengakui otoritas dan kebijakan kepemimpinan tradisional, dikenal dengan istilah "big man" atau orang besar. Keputusan politik seringkali diambil melalui musyawarah dan dipimpin oleh ketua adat yang kemudian melegitimasi hasil musyawarah tersebut.

Penggunaan sistem noken juga didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU-A-VII/2009 tentang Pemilu Sistem Noken di Papua. Meskipun demikian, perlahan tapi pasti, ada perubahan terkait penggunaan sistem ini. Dengan pemekaran provinsi baru di Papua Pegunungan, beberapa wilayah yang sebelumnya menggunakan sistem noken, kini telah melangkah maju.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, Steve Dumbon, menyatakan bahwa dalam Pemilu 2024 mendatang, wilayah Papua, yang terdiri dari delapan kabupaten dan satu kota, tidak akan lagi menggunakan sistem noken. Namun, perlu diingat bahwa Papua Pegunungan dan mungkin daerah-daerah tertentu di luar Papua masih dapat memilih untuk mempertahankan tradisi ini.

Meskipun demikian, tantangan distribusi logistik dan partisipasi masyarakat dalam proses pemilu tetap menjadi kenyataan di Papua. KPU Papua berharap bahwa dengan tidak adanya sistem noken, setiap pemilih akan lebih aktif dan berpartisipasi langsung dengan mendatangi TPS pada saat pencoblosan.

Walaupun sistem noken mungkin terlihat sebagai suatu keunikan lokal, hal ini mencerminkan keberagaman dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Keberagaman inilah yang menjadikan demokrasi di Indonesia begitu kaya dan bernuansa lokal.