Mengapa Meski Harga Rokok Naik 10%, Jumlah Perokok di Indonesia Terus Meningkat?

Batasan harga dan tarif cukai hasil tembakau buatan dalam negeri tidak efektif menurunkan konsumsi rokok

Mengapa Meski Harga Rokok Naik 10%, Jumlah Perokok di Indonesia Terus Meningkat?
Pemerintah berupaya menekan jumlah perokok dengan menaikkan tarif cukai yang berujung pada kenaikan harga rokok. Tapi, jumlah perokok naik 8,8 juta dalam 10 tahun.

Cydem.co.id' Jakarta - Pemerintah Indonesia baru-baru ini menerapkan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen mulai 1 Januari 2024, dalam upaya menekan konsumsi rokok di tengah kenaikan jumlah perokok yang mencapai 8,8 juta orang selama 10 tahun terakhir. Meski langkah ini sejalan dengan kebijakan dua tahun berturut-turut yang ditetapkan pemerintah, pertanyaannya adalah mengapa kenaikan harga rokok tidak berhasil secara signifikan mengurangi jumlah perokok?

Berdasarkan hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok di Indonesia mencapai 69,1 juta jiwa, dengan pengeluaran rokok mencapai sekitar Rp64 triliun per tahun. Langkah pemerintah untuk menetapkan batasan harga jual eceran dan tarif cukai per batang ternyata belum mampu merubah tren peningkatan konsumsi rokok.

Kenaikan cukai sebesar 10 persen diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok, namun penelitian menunjukkan bahwa permintaan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia masih bersifat inelastis. Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut bahwa banyak yang tetap mempertahankan konsumsi rokok walaupun harga naik, terutama di kalangan masyarakat berpendapatan rendah.

Namun, masalahnya tidak hanya sebatas pada kenaikan harga. Analisis dari penelitian 'Tobacco Economics in Indonesia' menunjukkan bahwa dampak kenaikan cukai rokok di Indonesia lebih besar daripada di negara maju, mencapai 2,9-6,7 persen. Meskipun demikian, peneliti menyoroti bahwa keterkaitan antara rokok dan perokok lebih kompleks daripada hanya masalah harga.

Beberapa ahli menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan opsi lain untuk mengurangi konsumsi rokok, seperti penegakan ruang bebas asap rokok, pembatasan aktivitas merokok di ruang publik, regulasi penjualan rokok berdasarkan usia, dan kampanye anti rokok yang masif. Namun, implementasi opsi-opsi ini memerlukan keseimbangan, mengingat industri rokok memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan menyerap banyak tenaga kerja.

Dalam konteks ini, kenaikan tarif cukai rokok tidak hanya menjadi masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga melibatkan pertimbangan ekonomi dan sosial. Terlepas dari pendapatan tambahan yang diharapkan dari kebijakan ini, pertanyaan tetap berlanjut: apakah langkah ini benar-benar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia? Evaluasi lebih lanjut terkait kebijakan anti-rokok menjadi penting agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan, mengingat tren peningkatan jumlah perokok yang masih terus berlangsung.