Kenaikan Harga Rokok Gagal Menurunkan Jumlah Perokok: Mengapa Masyarakat Tetap Merokok Meski Cukai Naik?
Kenaikan cukai rokok tidak sebanding dengan penurunan konsumsi, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah
Cydem.co.id' Jakarta - Pada awal tahun 2024, pemerintah Indonesia kembali mengambil langkah tegas dalam upaya menekan konsumsi rokok di tengah masyarakat. Dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen mulai 1 Januari, langkah ini diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok dan dampak buruknya terhadap kesehatan dan ekonomi nasional.
Kebijakan kenaikan CHT ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk terus meningkatkan tarif CHT dua tahun berturut-turut. Namun, meskipun pemerintah telah menetapkan batasan harga jual eceran dan tarif cukai per batang untuk hasil tembakau buatan dalam negeri, data menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia tetap meningkat sebanyak 8,8 juta orang dalam 10 tahun terakhir.
Menurut hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada Juni 2022, jumlah perokok di Indonesia mencapai 69,1 juta jiwa. Angka ini mencengangkan, mengingat pemerintah telah memberlakukan kebijakan kenaikan tarif cukai rokok untuk dua tahun berturut-turut.
Meskipun pemerintah telah menetapkan batasan harga jual eceran dan tarif cukai per batang, angka tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok masyarakat. Dengan berbagai jenis rokok mengalami kenaikan cukai, seperti Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I naik 11,8 persen dan Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) naik 11,8 persen, masyarakat tetap setia pada kebiasaan merokoknya.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menjelaskan bahwa kenaikan cukai dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok, tetapi penurunan ini tidak sebanding dengan kenaikan harga keseluruhan. Permintaan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia masih bersifat inelastis, yang berarti banyak yang akan mempertahankan konsumsi rokok walaupun harga naik.
Namun, dampak kenaikan harga rokok tidak hanya terbatas pada tingkat konsumsi. Ada kekhawatiran bahwa masyarakat akan beralih ke rokok ilegal yang lebih ekonomis dan tidak terkena cukai. Seiring dengan itu, masih muncul pertanyaan apakah langkah pemerintah ini benar-benar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok ataukah perlu dipertimbangkan strategi lain.
Peneliti menyarankan bahwa pemerintah bisa mengambil pendekatan lain, seperti penegakan ruang bebas asap rokok, pembatasan aktivitas merokok di ruang publik, regulasi penjualan rokok berdasarkan usia, dan kampanye anti rokok yang masif. Namun, langkah-langkah ini juga memerlukan keseimbangan, mengingat industri rokok memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara dan menyerap banyak tenaga kerja.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai bahwa kenaikan tarif cukai tidak akan terlalu mempengaruhi konsumsi rokok, dan masih perlu penelitian lebih mendalam tentang perilaku merokok masyarakat. Seiring dengan itu, ia juga menyoroti potensi dampak negatif terhadap industri rokok dan penerimaan negara dari cukai jika langkah-langkah lebih drastis diambil.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto menambahkan bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok sebenarnya tidak semata-mata untuk mengurangi konsumsi rokok. Target penerimaan cukai rokok yang tinggi, sebesar Rp230,4 triliun untuk tahun 2024, menunjukkan adanya motivasi ekonomi di balik kebijakan tersebut.
Sementara kenaikan harga rokok mungkin memberikan pendapatan lebih besar bagi pemerintah, masih ada pertanyaan apakah langkah ini benar-benar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok di masyarakat. Terlepas dari berbagai upaya pemerintah, dampaknya pada jumlah perokok yang terus meningkat menunjukkan bahwa perlu adanya evaluasi lebih lanjut terkait kebijakan anti-rokok untuk mencapai hasil yang diinginkan.