Mahfud MD Terangkan Perbedaan Penyelesaian Dugaan Kecurangan Pemilu 2024: Angket DPR vs. Gugatan MK
Angket DPR tidak dapat membatalkan hasil pemilu, sementara gugatan MK memiliki potensi untuk memicu pemungutan suara ulang
Cydem.co.id' Jakarta - Dalam sorotan pasca-Pemilu 2024 yang sarat dengan kontroversi, Mahfud MD, salah satu calon wakil presiden yang tengah mencalonkan diri, memberikan penjelasan yang rinci mengenai perbedaan antara dua jalur penyelesaian dugaan kecurangan pemilu, yakni melalui angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Penjelasan ini mengungkapkan kompleksitas dalam konteks hukum dan politik yang mempengaruhi proses penyelesaian dugaan kecurangan pemilu di Indonesia.
Hak angket DPR, menurut Mahfud, merupakan instrumen politik yang diberikan kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR. Dalam hal ini, anggota parpol di DPR memiliki legitimasi hukum untuk menuntut melalui proses angket. Namun, perlu dicatat bahwa vonis yang dihasilkan dari proses angket tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan hasil pemilu yang telah diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meskipun demikian, jika hasil penyelidikan angket menemukan adanya kecurangan, presiden sebagai pelaksana undang-undang dapat menjadi subjek hukum.
Di sisi lain, gugatan yang diajukan langsung ke Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan yang diberikan kepada setiap Pasangan Calon (Paslon). Proses ini ditujukan secara khusus kepada KPU. Keputusan yang diambil oleh MK memiliki potensi untuk membatalkan hasil pemilu, yang dapat mengakibatkan dilakukannya pemungutan suara ulang. Namun, dalam proses ini, diperlukan bukti yang kuat dan signifikan yang harus dibuktikan dalam sidang.
Ditekankan oleh Mahfud bahwa meskipun kedua jalur penyelesaian tersebut sah secara hukum, keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Jalur angket DPR bertujuan untuk mengadili secara politik, khususnya Presiden sebagai pelaksana undang-undang, sementara gugatan di MK bertujuan untuk menggugat hasil pemilu itu sendiri.
Dalam konteks Pemilu 2024, Fraksi PDIP di DPR, sebagai partai pengusung dari calon presiden-wakil presiden nomor urut 3, berencana untuk mengajukan hak angket setelah masa reses anggota dewan pada tanggal 7 Maret mendatang. Mereka telah mendapatkan dukungan dari beberapa partai lain untuk usulan tersebut. Namun, tidak semua partai mendukung wacana angket tersebut, dengan beberapa partai seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN menolaknya.
Karena itu, penyelesaian dugaan kecurangan pemilu melalui jalur angket DPR dan gugatan MK menunjukkan kompleksitas dalam proses hukum dan politik di Indonesia pasca-Pemilu 2024. Pemahaman yang mendalam tentang kedua jalur tersebut akan menjadi kunci dalam menavigasi kontroversi dan menegakkan keadilan dalam proses pemilu yang demokratis.