Jalur Gaza: Antara Kontroversi Kepemilikan dan Upaya Kemanusiaan di Tengah Perseteruan Israel-Palestina
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza sebagai mimpi buruk yang tak kunjung berakhir
Cydem.co.id' Jakarta - Situasi humaniter yang sulit di Jalur Gaza menjadi sorotan utama dalam Konferensi Kemanusiaan Internasional di Paris, diwarnai oleh pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang menggambarkan kondisi Gaza sebagai "mimpi buruk kemanusiaan yang tidak pernah berakhir bagi warga sipil." Berada di persimpangan laut di sebelah barat dan berbatasan dengan Israel di timur serta semenanjung Sinai Mesir di selatan, Jalur Gaza, yang kini menjadi kota terbesar di Palestina, terus menjadi pusat konflik dan penderitaan.
Latar Belakang Kontroversi: Gaza, dengan lebih dari 700.000 penduduk, mayoritas adalah pengungsi dan keturunan yang melarikan diri selama perang pembentukan Israel pada 1948. Meskipun pernah diduduki oleh Israel pada 1967 dan mengalami penarikan mundur pemukiman Yahudi pada 2005, Israel tetap memegang kendali atas kebutuhan pokok Gaza, termasuk air dan listrik.
Dinamika Politik: Pemilu legislatif tahun 2006 memunculkan pemerintahan terbagi, di mana Hamas menguasai Gaza, sementara Tepi Barat dikuasai oleh Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah. Meskipun pemisahan ini, Israel tetap mengekang kehidupan di Gaza dengan berbagai aksi blokade, menciptakan ketidakstabilan dan penderitaan bagi warga sipil.
Konflik yang Tak Kunjung Usai: Gaza terus menjadi sumber ketegangan dan konflik tak terelakkan di Timur Tengah. Masyarakat Gaza menolak mengakui diri mereka sebagai bagian dari wilayah ini, menandakan perlawanan mereka terhadap klaim Israel atas tanah mereka. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyoroti perlunya aksi kemanusiaan mendesak untuk mengatasi penderitaan warga sipil yang terus berlanjut.
Pertarungan Masa Depan: Jalur Gaza, dengan sejarah dan dinamika politik yang rumit, tetap menjadi fokus perhatian dunia. Konferensi di Paris menjadi panggung untuk membahas upaya kemanusiaan yang mendesak, sementara dunia terus memperhatikan perkembangan dan potensi solusi jangka panjang untuk mengakhiri ketidakstabilan di wilayah ini.