Kisah Kompleks Jalur Gaza: Sejarah, Kontroversi, dan Tantangan Kemanusiaan
Jalur Gaza terus menjadi fokus ketegangan di antara Israel dan Palestina, meskipun mengalami penarikan mundur Israel pada 2005
Cydem.co.id' Jakarta - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengecam situasi kemanusiaan yang terus berlanjut di Jalur Gaza Palestina, menyebutnya sebagai "mimpi buruk yang tidak pernah berakhir bagi warga sipil." Konferensi Kemanusiaan Internasional di Paris menjadi panggung bagi pembahasan intensif mengenai kepemilikan Jalur Gaza, yang terletak strategis di antara Israel, semenanjung Sinai Mesir, dan dua laut di sebelah barat.*
Mayoritas dari lebih dari 700.000 penduduk Gaza adalah pengungsi dan keturunan mereka, yang melarikan diri selama perang pembentukan Israel pada 1948. Meskipun pernah diduduki oleh Israel pada 1967 dan mengalami penarikan mundur pemukiman Yahudi pada 2005, Gaza tetap menjadi fokus ketegangan.
Pada 2006, setelah memenangkan pemilu legislatif, Hamas menguasai Gaza, sedangkan Tepi Barat dikuasai oleh Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah. Meskipun ada pemisahan pemerintahan, Israel tetap memegang kendali terhadap kebutuhan pokok Gaza, termasuk air dan listrik.
Gaza terus menjadi pusat bentrokan dan protes massa yang mendukung Hamas serta menentang tindakan Israel. Meskipun pengakuan formal terhadap kepemilikan Gaza menjadi perdebatan, kondisi kehidupan sehari-hari warga sipil tetap terhimpit.
Pesan Guterres memperkuat panggilan dunia untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan menanggulangi dampak kemanusiaan yang terus berkembang di Jalur Gaza. Dunia menantikan solusi dan upaya bersama demi membawa perubahan positif untuk masyarakat yang terjebak dalam kompleksitas konflik di Timur Tengah.