Pembelian Alutsista Bekas Dipertanyakan, Prabowo Beri Jawaban

Teuku Rezasyah melihat pembelian alutsista bekas sebagai langkah normal dalam meningkatkan kekuatan militer

Pembelian Alutsista Bekas Dipertanyakan, Prabowo Beri Jawaban
Ilustrasi. Pesawat tempur Mirage 2000-5.

Cydem.co.id' Jakarta - Pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) bekas oleh Menteri Pertahanan RI dan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menjadi fokus perdebatan sengit dalam debat ketiga Pilpres 2024. Dalam perdebatan tersebut, sejumlah kritik terhadap keputusan pembelian alutsista bekas muncul dari berbagai pihak.

Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, secara tajam menyoroti alokasi dana sebesar Rp700 triliun untuk Kementerian Pertahanan, yang menurutnya seharusnya tidak digunakan untuk membeli alutsista bekas. Posisi serupa diambil oleh paslon nomor urut 03, Ganjar, yang menekankan pentingnya transfer teknologi dan menolak pembelian alutsista bekas.

Prabowo, sebagai pihak yang terlibat langsung, memberikan tanggapannya dengan menjelaskan alasan di balik keputusannya. Ia menegaskan bahwa alutsista yang digunakan di manapun memiliki usia yang lebih muda dan bahwa pembelian alutsista baru memakan waktu yang cukup lama, sementara kemampulan pertahanan tidak dapat ditunda.

Namun, kritik terhadap keputusan ini tidak hanya datang dari kalangan politisi. Broto Wardoyo, seorang akademisi Ilmu Hubungan Internasional, memberikan perspektif bahwa keputusan suatu negara untuk membeli alutsista bekas harus disesuaikan dengan kondisi keamanan dan ancaman yang dihadapi. Dalam situasi ancaman nyata, pembelian alutsista bekas mungkin menjadi langkah yang wajar.

Pendapat yang sejalan datang dari Teuku Rezasyah, seorang Pengamat Hubungan Internasional. Reza melihat pembelian alutsista bekas sebagai langkah normal dalam meningkatkan kekuatan militer suatu negara. Ia menyoroti manfaat dalam mempelajari teknologi canggih dari alutsista bekas, yang dapat membuat negara pembeli menjadi lebih ahli dan bahkan berperan sebagai konsultan dalam jangka panjang.

Meskipun keputusan ini dapat dianggap sebagai langkah strategis dalam memperkuat pertahanan, pertanyaan kritis muncul mengenai apakah negara benar-benar menghadapi ancaman yang memaksa atau seharusnya lebih berfokus pada pengembangan teknologi pertahanan yang lebih canggih.