Kenaikan Harga Rokok Gagal Menurunkan Jumlah Perokok: Alasan dan Alternatif Solusi

Risiko kesehatan dan kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok semakin meningkat, mencapai Rp27,7 triliun

Kenaikan Harga Rokok Gagal Menurunkan Jumlah Perokok: Alasan dan Alternatif Solusi
Pemerintah berupaya menekan jumlah perokok dengan menaikkan tarif cukai yang berujung pada kenaikan harga rokok. Tapi, jumlah perokok naik 8,8 juta dalam 10 tahun.

Cydem.co.id' Jakarta - Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk menekan konsumsi rokok dengan kembali meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen mulai 1 Januari 2024. Namun, langkah ini nampaknya belum mampu mengurangi jumlah perokok di Tanah Air. Sebuah analisis mendalam mengungkap bahwa, meskipun harga rokok naik, jumlah perokok malah meningkat sebanyak 8,8 juta orang dalam satu dekade terakhir, mencapai total 69,1 juta jiwa.

Kebijakan pemerintah yang sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 menetapkan batasan harga jual eceran dan tarif cukai per batang untuk hasil tembakau buatan dalam negeri. Meski demikian, pertanyaan yang muncul adalah mengapa kenaikan harga rokok belum mampu mengubah perilaku konsumsi masyarakat?

Menurut penelitian yang diulas dalam 'Tobacco Economics in Indonesia,' kenaikan harga rokok sebesar 10 persen di negara-negara maju hanya menyebabkan penurunan konsumsi sekitar 2,5-5 persen. Sementara di Indonesia, dampaknya jauh lebih besar, mencapai 2,9-6,7 persen. Namun, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa permintaan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia bersifat inelastis, sehingga banyak yang tetap merokok meskipun harga naik.

Pentingnya dicatat bahwa kenaikan cukai rokok berpotensi mendorong masyarakat untuk beralih ke rokok ilegal yang lebih ekonomis dan tidak terkena cukai. Selain itu, analisis menyoroti kompleksitas hubungan antara rokok dan perokok, yang tidak hanya terkait dengan faktor harga semata.

Beberapa ahli merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan opsi alternatif, seperti penegakan ruang bebas asap rokok, pembatasan aktivitas merokok di ruang publik, regulasi penjualan rokok berdasarkan usia, dan kampanye anti rokok yang lebih masif. Meski demikian, implementasi opsi-opsi ini memerlukan keseimbangan, mengingat industri rokok memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara dan menyerap banyak tenaga kerja.

Meskipun kenaikan tarif cukai memberikan pendapatan yang lebih besar bagi pemerintah, pertanyaan utama adalah apakah langkah ini benar-benar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok di masyarakat. Terlepas dari berbagai upaya pemerintah, meningkatnya jumlah perokok menunjukkan perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap kebijakan anti-rokok untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dengan masalah kesehatan dan ekonomi yang terkait erat dengan konsumsi rokok, muncul pertanyaan krusial: Bagaimana pemerintah dapat mengatasi tantangan ini dengan lebih efektif?