Dibalik Kebebasan Berpendapat: Mengapa Negara Barat Melarang Demonstrasi Solidaritas Palestina?

Kritik terhadap langkah-langkah pemerintah Barat mencuat, mempertanyakan konsistensi dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat

Dibalik Kebebasan Berpendapat: Mengapa Negara Barat Melarang Demonstrasi Solidaritas Palestina?
Demo bela Palestina di London, Inggris.

Cydem.co.id' Jakarta - Israel terus melancarkan agresi di Jalur Gaza Palestina, menciptakan krisis kemanusiaan yang semakin memprihatinkan. Dengan laporan tewasnya 20 ribu warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, 18 organisasi kemanusiaan dan PBB berseru untuk gencatan kemanusiaan segera.

Dukungan bagi warga Palestina bergema di seluruh dunia melalui aksi demonstrasi. Namun, sorotan tertuju pada negara-negara Barat yang melarang warganya untuk melakukan unjuk rasa mendukung Palestina, meskipun mereka sering menekankan soal kebebasan berpendapat.

Menteri dalam negeri Perancis meminta larangan terhadap aksi demonstrasi pro-Palestina dengan alasan potensi peningkatan sentimen anti-Semit. Presiden Emmanuel Macron bahkan mendesak warga Perancis untuk tidak memperbesar konflik di Timur Tengah menjadi masalah dalam negeri. Pemerintah Perancis bahkan menggunakan kekuatan, seperti menyemprotkan gas air mata kepada para demonstran, untuk membubarkan aksi tersebut.

"Janganlah kita membawa petualangan ideologis ke sini (ke Prancis) dengan meniru atau memproyeksikan. Jangan sampai kita menambahkan perpecahan nasional ke perpecahan internasional," ungkap Macron.

Di Inggris, anggota parlemen Paul Bristow dipecat dari jabatannya karena menyerukan gencatan senjata di Gaza. Meskipun Perdana Menteri Rishi Sunak mendukung jeda kemanusiaan, ia menolak gencatan senjata dengan alasan bahwa Israel berhak mempertahankan diri. Pemerintah Inggris menilai komentar Bristow tidak sesuai dengan prinsip tanggung jawab kolektif.

Pemerintah Jerman juga menolak dukungan masyarakat terhadap Palestina dengan alasan kekhawatiran akan bahaya yang tidak jelas. Kanselir Jerman Olaf Scholz bahkan mengunjungi Israel dan Mesir, menyatakan bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri.

Demonstrasi di distrik Neukolln, Berlin, yang mayoritas penduduknya adalah orang Arab dan Palestina, disikapi keras oleh pihak keamanan dengan menyemprotkan merica, meriam air, dan alat pencegahan lainnya. Pemerintah Jerman mengasumsi bahwa pertemuan tersebut dapat menghasilkan slogan-slogan anti-Semit yang menghasut.

Kontroversi di balik larangan demonstrasi pro-Palestina ini mencerminkan ketidaksetujuan di kalangan masyarakat dan menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kebebasan berpendapat dapat dijaga dalam konteks konflik internasional yang sensitif.