Ade Armando Kritik Aksi BEM UI dan UGM Terkait Politik Dinasti, Sebut Ironis di DIY
Kritik Ade Armando muncul terkait aksi BEM yang menyoroti politik dinasti menjelang Pilpres 2024
Cydem.co.id' Jakarta - pegiat media sosial sekaligus politikus PSI, Ade Armando menyindir aksi BEM UI, UGM, dan sejumlah BEM lain yang salah satunya mengkritik praktik politik dinasti menjelang Pilpres 2024.
Ade terutama menyoroti kaos yang mereka gunakan bertuliskan 'republik rasa dinasti'. Dia merasa ironis dengan aksi tersebut sebab politik dinasti sesungguhnya menurut Ade justru berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi lokasi aksi mereka.
"Ini ironis sekali, karena mereka justru sedang berada di sebuah wilayah yang jelas-jelas menjalankan politik dinasti dan mereka diam saja," kata dia dalam cuitannya, Sabtu (2/12).
"Anak-anak BEM ini harus tahu dong, kalau mau melawan politik dinasti, ya politik dinasti sesungguhnya adalah DIY. Gubernurnya tidak dipilih melalui pemilu," imbuhnya.
Lebih lanjut, kata Ade, Gubernur Yogyakarta saat ini adalah Sultan Hamengkubuwono X yang tidak dipilih melalui pemilu melainkan karena garis keturunan. Dia menuturkan, pemerintahan Daerah Istimewa di Yogyakarta diatur dalam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Ade menyebut salah satu mantan anggota DPR yang berperan besar membidani kelahiran UU itu adalah Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut tiga sekaligus kader PDIP. Ganjar pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR sebelum maju di Pilgub Jawa Tengah pada 2013.
"Dan salah satu anggota DPR yang berperan besar dalam kelahiran UU itu adalah wakil ketua panja kerja di DPR, yang bernama Ganjar Pranowo," kata dia.
Ade mempertanyakan alasan mahasiswa diam terkait praktik politik dinasti di Yogyakarta. Padahal menurut dia, hal itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Ditanya lebih lanjut soal itu, dia menilai semua daerah mestinya tunduk pada UUD 1945 yang menetapkan pemilihan kepada daerah harus dilakukan secara demokratis.
Oleh karena itu, selama menjadi bagian dari NKRI, Yogyakarta harus tunduk pada aturan tersebut.
"UUD 45 menetapkan pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara demokratis. Tidak bisa turun temurun. Selama menjadi bagian dari NKRI, Jogja harus tunduk pada UUD 1945," kata dia.
Sejarah Keistimewaan Yogyakarta
Sejarah keistimewaan Yogyakarta tak lepas dari jejak penjajahan di Indonesia. Bukan saja oleh pemerintah Hindia Belanda, daerah kesultanan Jogja juga diakui semasa penjajahan Jepang di Indonesia.
Pasca-kemerdekaan RI, status Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan karena beberapa alasan. Pertama, memiliki pemerintahan sendiri sebelum Indonesia merdeka.
Merujuk UU Nomor 22 Tahun 1948 mengenai Pemerintahan Daerah, syarat utama daerah istimewa adalah memiliki pemerintahan sendiri sebelum Republik Indonesia diproklamasikan.
Kota Yogyakarta sudah berdiri sejak 1755 bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I di Hutan Beringin.
Usai kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 5 September 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan amanat yang menyatakan daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945.
Sebulan kemudian, pada 30 Oktober 1945, amanat kedua dikeluarkan yang menyatakan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta akan dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama dengan Badan Pekerja Komite Nasional.
Sebagai daerah Istimewa, Yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.