Kenaikan Pajak Hiburan 40 Persen Ancam Bisnis Spa di Bali, PHRI Desak Pemerintah Evaluasi Kebijakan
Wakil Ketua PHRI Bali menilai spa seharusnya tidak termasuk dalam kategori hiburan yang dikenai pajak tinggi
Cydem.co.id' Jakarta - Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, mengungkapkan keberatannya terhadap rencana kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen bagi bisnis spa di Bali. Menurutnya, kategori hiburan yang diterapkan pada bisnis spa tidak sesuai, karena usaha ini lebih menekankan pada kebugaran dan wellness daripada hiburan tradisional.
Suryawijaya menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat merugikan usaha spa di Bali, yang dikenal sebagai tempat kebugaran dan penyegaran bagi wisatawan. Ia membedakan antara spa dengan layanan hiburan seperti karaoke, diskotek, atau tempat yang menjual minuman, yang memang seharusnya dikenakan tarif pajak hiburan yang lebih tinggi.
Keheranan muncul karena kenaikan pajak hiburan dari 15 persen menjadi 40 persen dianggap terlalu drastis oleh para pebisnis spa. Suryawijaya berpendapat bahwa langkah ini akan memberikan beban yang berat bagi bisnis spa yang baru saja pulih dari dampak pandemi COVID-19.
"Dari 15 persen sampai 40 persen? Ini kalau kenaikan, iya, pelan-pelan ojo kesusu. Jangan ngagetin usaha dan itu akan membunuh usaha. Kita kan baru recovery, baru sembuh dari 2,5 tahun pandemi Covid," ungkapnya.
Dalam pandangan Suryawijaya, kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen dapat mengakibatkan bangkrutnya bisnis spa. Ia menyoroti bahwa dengan biaya operasional mencapai 60 persen dan pajak sebesar 40 persen, sulit bagi bisnis spa untuk bertahan dan berkembang.
PHRI pun mendesak pemerintah untuk meninjau ulang besaran tarif pajak tersebut agar bisnis spa dapat tetap berkembang dan tidak terpaksa tutup. Desakan ini merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis spa di tengah tantangan ekonomi pasca-pandemi.
Menurut Peraturan Daerah (Perda) Badung Nomor 7 Tahun 2023, pajak hiburan spa diatur sebesar 40 persen, sementara sektor lainnya dikenai tarif 10 persen. PHRI berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan ulang kebijakan ini demi mendukung pemulihan ekonomi di sektor pariwisata, khususnya bagi bisnis spa yang memiliki peran penting dalam menarik wisatawan ke Bali.